Pribadi yang Terus Belajar untuk Mengajar
Oleh Aris Kurniawan
Dalam ilmu managemen, istilah kaizen adalah kata yang tidak asing lagi. Istilah ini merujuk kepada filosofi perusahaan jepang yang mengatakan kepada kita bahwa hanya dengan secara terus menerus tetap sadar dan membuat beratus-ratus ribu peningkatan kecil, maka dimungkinkan untuk menghasilkan barang dan jasa yang mutunya otentik sehingga memuaskan pelanggan. Gagasan konsep yang dihembuskan Masaaki Imai di jepang pada tahun 1986 ini telah mempengaruhi dunia industri jepang. Berbekal paradigma kaizen ini, mereka terus bekerja dan melakukan evaluasi, refleksi dan kemudian aksi perbaikan secara terus menerus. Berpuluh tahun kemudian, dengan konsistenis mereka menerapkan filosofi kaizen, jepang berhasil menjelma menjadi negara dengan negara yang terkenal akan kehebatan teknologi dan juga mutu produk barang yang dihasilkannya. Dunia dibuat tercengang akan revolusi yang dibuat oleh jepang yang dalam waktu singkat menjadi negara raksasa dalam dunia industri. Keberhasilan mereka ini kemudian menjadikan konsep kaizen sebagai filosofi universal, paradigma pengembangan yang bisa diterima secara luas dan patut untuk diaplikasikan.
Senada dengan konsep kaizen, beratus tahun sebelum Masaaki Imai dilahirkan, pemikiran hebat dimunculkan oleh Nabiyullah Muhammad SAW. Dalam hadist nya beliau mengingatkan umat islam untuk terus berbenah dan meningkatkan dirinya menjadi manusia yang lebih baik.
“Barang siapa hari ini LEBIH BAIK dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang BERUNTUNG,
Barang siapa yang hari ini SAMA DENGAN hari kemarin dialah tergolong orang yang MERUGI
dan Barang siapa yang hari ini LEBIH BURUK dari hari kemarin dialah tergolong orang yang CELAKA” (HR Hakim)
Pesan dari rasulullah ini mengimplikasikan kepada kita untuk melakukan muhasabah atau refleksi terhadap apa saja yang telah kita lakukan. Dengan melakukan refleksi kita bisa mengetahui poin-poin mana yang bisa dipertahankan dan bagian mana yang perlu untuk ditingkatkan.
Berpijak dari konsep perbaikan terus menerus tersebut, seorang guru, sebagaimana profesi lainya, dituntut untuk berpacu menjadi lebih baik dari waktu- waktu dengan terus melakukan refleksi dan aksi perbaikan jika ingin menciptakan proses pembelajaran yang terbaik. Kengganan melakukan refleksi sangat berpotensi menyeret guru dalam kejumudan atau stagnansi dalam pengembangan diri dan juga profesinya.
Dalam praktik pengajaran, contoh nyata kegagalan guru melakukan muhasabah adalah menjamurnya penyakit “auto teaching”. Ciri guru yang terjangkit virus ini bisa dilihat dari cara mengajarnya. Selama bertahun tahun, sang guru akan selalu menggunakan metode itu-itu saja. Bahkan, dalam sebuah kesempatan seorang teman menceritakan bagaimana seorang guru selalu mengajar dengan cara yang sama. Bahkan, dia selalu menceritakan lelucon yang sama dari satu generasi ke generasi dibawahnya. Lelucon yang dia dapat tahun ini adalah lelucon yang sama yang diceritakan sang guru kepada kakak kelasnya berpuluh tahun yang lalu. Bisa dibayangkan betapa sang guru sudah pada kondisi otomatis dalam pengajaranya. Betapa keadaan ini menggambarkan tidak adanya inovasi atau detail kecil perubahan yang coba ditawarkan kepada siswanya. Mungkin satu-satunya yang berubah adalah rambutnya yang mulai memutih atau tubuh yang sudah agak tambun.
Bisa jadi sebagian guru akan berkata “ah kalau teknik mengajarnya sudah baik dan terbukti sukses, kenapa harus berubah?”. sepintas logika ini benar, namun sepertinya tidak sepenuhnya benar. Bagaimana mungkin srategi yang sama digunakan untuk mengajar siswa yang berbeda? Bagaimana seorang guru menganggap siswa hari ini sama dengan siswa 5 atau 10 tahun yang lalu?
Sekali lagi, dari cerita teman tentang gurunya tadi mengindikasikan pentingnya proses refleksi oleh guru. Dengan melakukan refleksi guru diharapkan terus belajar untuk mengajar. Belajar dari setiap kesalahan atau kekurangan selama proses pembelajar.